Bagaimana Cara agar Petani Indonesia Bisa Mengikuti Perkembangan Teknologi?

Suci Rachmawati
4 min readFeb 15, 2021

Memasuki era Revolusi Industri 4.0, aktivitas dari berbagai macam sektor seperti sosial, pendidikan, ekonomi, dll. selalu dikaitkan dengan penggunaan teknologi otomatisasi. Penggunaan tekonologi yang diterapkan juga beragam, mulai dari Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence (AI), dll. Kecanggihan teknologi ini dinilai memberikan dampak positif karena pengaplikasian yang mudah dan menguntungkan.

Lalu, bagaimana dengan sektor pertanian di era Revolusi Industri 4.0?

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting. Produk-produk pertanian khususnya pangan merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Berbicara tentang pertanian tentu tidak hanya terfokus pada sisi on farm atau proses budidaya saja, tetapi lebih luas dari itu. Berbicara tentang pertanian berarti juga termasuk proses secara keseluruhan mulai dari Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana, hingga hasil produk pertanian sampai ke piring makan ktia.

Kali ini, saya ingin sedikit membahas lebih jauh tentang SDM di sektor pertanian. Saat ini Kementerian Pertanian memiliki program yang diberi nama Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostratani) yang memiliki fokus pada gerakan pembangunan pertanian di tingkat kecamatan dengan mengoptimalkan peran Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Kostratani dibuat sebagai wujud gerakan pembangunan pertanian seiring dengan kemajuan era Revolusi Industri 4.0. Saya pribadi mendukung program ini, karena Kostratani berperan tidak hanya sebagai pusat data dan informasi tetapi juga sebagai pusat pembelajaran, konsultasi agribisnis, dan pengembangan jejaring dan kemitraan.

Jika ditelusuri lebih jauh, ujung tombak dari program tersebut adalah SDM di lapangan seperti penyuluh pertanian ataupun petugas lapang lainnya, dan akan berujung pada petani. Ini adalah kesempatan bagi petani untuk bisa belajar lebih jauh tentang bagaimana pemanfaatan teknologi untuk usaha taninya.

Kenapa saya menyebut ini sebagai kesempatan?

Karena buat saya, kata yang identik dengan profesi petani adalah “sengsara”. Iya, karena saya pribadi beberapa kali pernah mendengar kata itu diucapkan langsung oleh petani. Tapi tidak, saya tidak menggeneralisir bahwa seluruh petani di Indonesia itu “sengsara” hanya saja itu cukup menjadi bukti bahwa pola pikir seorang petani perlu diubah. Karena pola pikir adalah salah satu penentu kesuksesan seseorang, kan? Bisa jadi, salah satu faktor yang menjadi penyebab pertanian di Indonesia belum secanggih negara-negara lain atau penyerapan dan penerapan ilmu yang berkaitan dengan teknologi belum bisa diterima petani disebabkan oleh pola pikir mereka.

Kenapa petani bisa memiliki pola pikir yang terkesan “menolak” untuk mengubah teknik bertani mereka?

Tentu ini akan berkaitan dengan banyak sisi seperti tingkat pendidikan, kondisi lahan, hingga pengalaman yang dimiliki. Sebagai contoh, misalnya sebuah kelompok tani mendapat bantuan berupa alat-alat pertanian yang canggih, tetapi tidak dilengkapi dengan informasi tentang bagaimana menggunakannya, bagaimana perawatannya, sejauh mana efisiensi alat tersebut jika digunakan, dll. hinga akhirnya alat tersebut hanya disimpan di gudang dan tidak digunakan; atau misalnya sebuah kelompok tani terpilih sebagai salah satu kelompok penerima manfaat program berupa bantuan untuk budidaya (benih/bibit, pupuk, atau adopsi sistem budidaya) namun ternyata hasil produksi tidak signifikan. Hal tersebut bisa saja menyebabkan munculnya pola pikir yang terkesan “menolak”.

Pada dasarnya, petani tidak menolak apa yang datang pada mereka. Hanya saja, umumnya profesi petani di Indonesia adalah profesi yang turun-temurun dan keterbatasan petani untuk mendapat kesempatan bersekolah sehingga mereka akan lebih banyak mengandalkan hard skill-nya dalam bertani. Jika mengacu pada contoh tersebut bisa jadi muncul sebuah peluang untuk memperbaiki bagaimana seharusnya petani itu agar mau “disentuh”.

Bagaimana caranya agar petani mau “disentuh”?

Menurut saya, solusi mendasar yang perlu dilakukan adalah dengan sistem percontohan. Iya, memang ini tidak mudah untuk dilakukan tetapi ini mungkin sekali untuk dilakukan jika ada sinergi dari berbagai pihak.

Kenapa menggunakan sistem percontohan?

Ibaratnya seperti kita yang ingin membeli sebuah barang, kita mencoba untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang informasi seberapa bagus barang tersebut baik itu dari teman, review di internet, dll. Setelah kita tahu nilai yang diberikan oleh orang yang sudah pernah membelinya, barulah kita melakukan tindakan, gitu kan? Begitu juga dengan petani, jika kita ingin meminta petani untuk menerapkan sistem budidaya hidroponik misalnya, kita tidak bisa secara langsung meminta dan memberikan iming-iming kalau hasil dari budidaya hidroponik akan berlipat ganda dibandingkan budidaya secara konvensional. Kita harus mencari tahu dan melakukannya terlebih dahulu apakah memang benar hasilnya demikian? Jika hasilnya terbukti lebih baik, lebih efisien, barulah kita mengajak petani untuk melakukan hal yang sama.

Kesimpulannya, menurut saya agar petani bisa turut berkembang seiring dengan perkembangan teknologi maka harus dimulai dari perubahan pola pikir yang dibantu dengan memberikan stimulus melalui program-program percontohan yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh petani. Dengan begitu, harapannya akan semakin banyak petani yang mengajak petani lainnya untuk bisa menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi lahan dan komoditi pertaniannya.

--

--

Suci Rachmawati

Medium is a medium for myself-contemplation. I will share stories about agriculture, career life, life lessons, and personal story/ development.