GHOSTING: Why Do Recruiters Ghosting Their Candidates?

Suci Rachmawati
10 min readDec 23, 2021

Disclaimer:

Aku bukan seorang ahli di bidang HR atau apapun yang berkaitan dengan proses rekrutmen. Tulisan ini dibuat hanya berdasarkan keresahan pribadi atas pengalaman-pengalaman yang pernah dialami. Oh ya, tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak-pihak tertentu, murni hanya ingin bercerita dan berharap bisa mendapatkan jawaban yang benar.

— — —

Belakangan ini istilah ghosting rasanya semakin menjadi creepy trend, iya ga sih? Mungkin sebelumnya istilah ghosting lebih sering dipakai dalam konteks suatu hubungan ya, baik hubungan percintaan atau hubungan pertemanan. Misalnya, kita dengan salah seorang teman mau hang out, sudah komunikasi tapi tiba-tiba di tengah jalan dia hilang entah kemana tanpa kasih informasi bagaimana kelanjutannya. Nyebelin, kan?! Ya, dalam konteks sesederhana itu aja ghosting bisa membuat seseorang jengkel. Bayangin, bagaimana kalau ghosting sampai ke dalam konteks pencarian pekerjaan? Kandidat di-ghosting oleh rekruter atau sebaliknya.

Kalau ada yang tanya, “Kamu pernah digituin (ghosting) sama rekruter, Ci?” jawaban aku adalah “Pernah! Bahkan lebih dari sekali. Hahaha.”

Selama proses pencarian pekerjaan full-time aku beberapa kali dilirik oleh HR untuk bisa mengikuti proses rekrutmen yang ada di perusahaannya, Alhamdulillah. Selama proses ini juga aku jadi punya pengalaman dan bisa belajar. Aku pernah mengalami proses interview yang terbilang santai, terbuka, sampai pernah mendapati proses yang menurut aku kurang menyenangkan seperti interview online yang ngaret 1 jam tanpa ada pemberitahuan dari HR ataupun user, interview tanpa ada konfirmasi lanjutan dari pihak HR sampai tiba-tiba di hari H user menghubungi dan menjadwalkan untuk interview saat itu juga, nano-nano deh rasanya, tapi seru! Dari semua itu, kali ini aku mau cerita soal pengalaman pribadi tentang pencarian pekerjaan yang kurang menyenangkan dalam hal ini aku kena ghosting perekrut hahaha.

Begini ceritanya…

Pengalaman Pertama

Di-ghosting oleh HR dari salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia

Beberapa bulan lalu, tepatnya di bulan Februari — Maret 2021 aku pernah melamar pekerjaan ke salah satu perusahaan retail terbaik dan terbesar di Indonesia. Aku melamar melalui online job portal. Singkat cerita, berselang kurang lebih 2 minggu aku dihubungi oleh HR perusahaan tersebut via telepon dan diundang untuk interview bersama user keesokan harinya. Karena aku memang menginginkan posisi tersebut, aku langsung mengiyakan dan bersedia hadir (online) sesuai waktu yang sudah dijadwalkan.

Invitation email interview 1

Proses interview berjalan lancar, tidak terlalu kaku, dan tegang karena interview ini lebih terasa seperti diskusi antara atasan dengan bawahan. Di akhir sesi, user memberikan tugas kepadaku untuk membuat proposal yang berisi tentang aktivitas apa saja yang sekiranya bisa menjadi kegiatan dalam program CSR perusahaan tersebut dan diberikan waktu pengerjaan 1 minggu. Pada hari kelima setelah interview, aku mengirimkan proposal yang sudah aku buat ke user dan mendapat balasan seperti yang ada pada gambar di bawah ini.

Email Notification

Memang benar, pada proses interview beliau mengatakan “untuk proses selanjutnya nanti menunggu informasi dari HR ya.” lalu saya balas dengan mengucapkan terima kasih dan mengiyakan untuk menunggu informasi dari HR.

Oke lanjut ya!

Kelanjutannya adalah…

Sampai hari ini tidak ada feedback atau informasi apapun dari HR ataupun user di perusahaan tersebut. Deg! Pikiran aku seketika dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan “Loh, ada apa? Kenapa ya?”

“Terus kamu ngapain, Ci?”

Setelah sekitar 2 minggu aku mengirimkan tugas tersebut, dan tidak ada informasi apapun dari pihak perusahaan, aku memutuskan untuk melakukan follow up ke HR melalui email. Kenapa sudah 2 minggu baru follow up? Iya, aku tidak tahu betul kapan pastinya waktu yang baik untuk melakukan follow up. Ada yang bilang dalam proses rekrutmen itu kita boleh melakukan follow up 1 minggu setelah interview, tapi kalau aku boleh agak sok tahu aku cukup sering mendengar HR mengatakan “tunggu informasi dari kita ya maksimal 2 minggu, nanti dihubungi lagi.” Jadi, ya aku hanya berpatokan dengan ucapan HR, setelah 2 minggu tidak ada informasi maka aku bisa melakukan follow up ke HR seperti yang ada di bawah nih.

Follow up Email

“Terus HR-nya respons ga, Ci?”

Beneran nih, mau tau? Hihi. Hasilnya nihil cuy! Hahahaha. Ga ada balasan dan informasi apapaun dari pihak perusahaan.

Dah. Pengalaman pertama selesai hanya sampai situ aja.

Pengalaman Kedua

Di-ghosting oleh HR dari salah satu perusahaan pelayanan jasa terbaik dan cukup popular beberapa tahun belakangan

Pengalaman kedua belum lama ini aku alami, sekitar bulan November 2021 lalu. Sama dengan pengalaman sebelumnya, aku melamar pekerjaan ini melalui online portal job yang sama. Boleh dibilang proses rekrutmen di perusahaan ini cukup cepat, hanya berselang 1 minggu untuk setiap tahapannya.

Seperti biasa, tahapan pertama selalu dimulai dari HR. Aku mendapat telepon dari HR dan beliau melakukan interview singkat via telepon. Setelah itu, di hari yang sama aku mendapat undangan untuk lanjut ke proses rekrutmen di perusahaannya dengan mengikuti seleksi psikotest terlebih dahulu. “Cepat juga,” pikirku.

Invitation Email for Psychotest
Invitation Email for Psychotest

Selesai psikotest, di minggu selanjutnya aku kembali dihubungi HR dan diundang untuk mengikuti interview bersama beliau dan user 1 (senior staff).

Invitation Email for Interview

Menurut aku, proses interview tidak begitu lancar karena terkendala oleh jaringan di kantor mereka yang sedang tidak stabil, tapi secara keseluruhan aku merasa cukup bisa melewati itu dengan baik pada saat itu. Semoga saja. Ternyata benar, setelah interview tersebut di minggu selanjutnya aku dihubungi lagi oleh HR untuk mengikuti interview bersama beliau dan user 2 (manager).

Invitation Email for Interview

Proses interview kedua ini menurut aku agak kurang. Kenapa? Pertama, karena menurut aku waktunya terlalu singkat dan terburu-buru. Interview hanya berjalan selama 15–20 menit, itu pun sudah termasuk dengan waktu menunggu user yang sempat interupsi di meeting room karena ada urusan. Kedua, aku tidak bisa total dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Aku menyadari bahwa ada ketidaksiapan dalam menyusun kata-kata dan menjawab pertanyaan.

“Hasil interview-nya gimana, Ci? Diterima?”

Tunggu. Sebelum aku menjawab, aku mau cerita sedikit tentang kalimat yang disampaikan oleh HR diakhir sesi interview.

Begini, ketika di akhir sesi interview HR bertanya “Apa ada pertanyaan?” lalu aku jawab “Iya, ada beberapa Mba (panggilan ini sudah disepakati sejak awal interview).”

Salah satu pertanyaan yang aku sampaikan kepada HR saat interview pertama adalah “Proses rekrutmen di perusahaan ini seperti apa ya, Mba? Untuk posisi ini, proses selanjutnya apa?”

Kira-kira seperti itu pertanyaanku. Kemudian HR menjawab “Biasanya setelah ini akan ada interview lagi Mba bersama user kedua, yaitu dengan manager. Setelah itu kami akan berdiskusi kira-kira 1 minggu, baru bisa diputuskan apakah Mba Suci lolos atau tidak.”

Karena interview-nya secara daring, aku membalas dengan memanggutkan kepala sambil mengatakan “Oke, Mba.” Ga lama, HR langsung menyambung lagi dengan mengatakan “Nanti akan saya informasikan Mba lolos atau tidaknya.”

Oke, lanjut ya.

Pada saat interview kedua bersama manager, diakhir sesi aku tidak lagi menanyakan kepada HR tentang kelanjutan proses rekrutmen karena HR langsung menyampaikan “Nanti akan Saya hubungi lagi ya, Mba. Saya pasti selalu memberi tahu kok kepada kandidat terkait hasil interview-nya.” Mendengar jawaban tersebut di satu sisi aku merasa agak tenang, karena jika memang benar seperti itu, aku akan sangat kagum dengan beliau.

Kenyataannya…

Satu minggu setelah interview kedua bersama manager, belum ada informasi apapun dari pihak HR. Aku mulai bertanya-tanya dalam diri, “Kok belum ada info ya? Lolos ga nih ya?” lalu disambung dengan “Kalau pun ga lolos, katanya kan dihubungi…”

Setelah menungu sampai 9 hari tidak ada informasi, aku mencoba untuk melakukan follow up dengan mengirimkan email kepada HR seperti yang ada di gambar.

Follow up Email

“Ada balasan ga, Ci?”

Serius mau tau? Ga ada balasan! Hahaha. Setelah itu, aku membatin dan bertanya dalam hati “Lho, kok gini? Untuk apa seorang HR berani mengatakan ‘pasti selalu menginformasikan terkait hasil interview kepada kandidatnya’ tapi nyatanya sampai hari ini aku sebagai salah satu kandidat tidak mendapat informasi apapun.”

Dah, pengalaman kedua sampai disini.

— — —

I’m human too. Tidak munafik bahwa (maaf) aku sempat menaruh penilain yang kurang baik terhadap beliau-beliau sebagai seorang HR, karena tidak bisa merepresentasikan perusahaannya dengan baik dan tentunya juga tidak menunjukan sisi profesionalisme dalam pekerjaannya. Semoga peniliaian aku ini salah, semoga beliau hanya sedang ada kesibukan lain sehingga belum bisa memberikan informasi padaku. Semoga setelah nantinya ada waktu beliau bisa membuktikan apa yang telah diucapkannya sebagai bentuk integritas.

So, why do recruiters ghosting their candidates?

Ya, setelah aku mendapatkan pengalaman-pengalaman tersebut, aku mencoba (lagi) untuk membaca artikel tentang kenapa rekruter meng-ghosting kandidatnya. Aku menemukan satu artikel dari Forbes yang menurutku cukup bisa aku terima. Aku coba tuliskan poinnya disini ya.

1. Ada perubahan prioritas

2. Rekruter sedang off dan/atau ada perubahan pekerjaan

3. Rekruter tidak cukup baik dalam pekerjaan

Menurut aku 3 poin itu cukup bisa diterima. Kenapa?

Pertama,

Jika yang menjadi alasan seorang HR meng-ghosting kandidat adalah karena terbatas pada CV kurang menarik, kandidat terlalu banyak, dll. itu adalah hal yang kurang masuk akal. Lha wong sudah sampai tahap interview user kok, bisa jadi beda cerita jika tahapannya masih di tahapan awal.

Kedua,

Jika alasannya adalah terkait keinginan user dan kecocokan antara user dengan kandidat, ini juga agak kurang bisa diterima. Kenapa? Karena jika proses rekrutmen sudah sampai tahap user logikanya jumlah kandidat sudah tidak terlalu banyak dan sangat mungkin untuk HR memberikan informasi kepada kandidat. Well, ini menurut analisa sok tahu aku aja sih

Oh, aku juga pernah baca di LinkedIn bahwa salah satu yang menjadi alasan HR tidak menghubungi kandidatnya terkait kelanjutan proses rekrutmen adalah karena pekerjaan HR tidak hanya sebatas pada rekrutmen karyawan saja, banyak hal-hal lain yang juga menjadi tanggung jawab. Iya, aku setuju. Kalimat ini memang memang benar adanya, kan? Tapi, apakah dari total waktu 8 jam kerja dalam 1 hari tidak bisa diselipkan untuk mengirim email kepada kandidat? Menurut aku, HR bisa saja membuat template email penolakan, lalu set schedule supaya nanti kalau sudah waktunya email tersebut akan otomatis terkirim ke kandidiat. Aku rasa ada banyak cara untuk menyampaikan sebuah informasi di tengah kemajuan teknologi saat ini. Lagi-lagi, ini menurut analisa sok tahu aku aja…

Maaf, no hard feeling. Balik lagi, aku tidak ingin menjadi seorang yang munafik. Di dunia ini ada banyak sekali manusia dan ada banyak sekali karakter yang ada pada diri seseorang. Harus aku akui bahwa pasti akan selalu ada orang yang baik karakternya (aku yakin jumlahnya akan lebih banyak) tetapi juga pasti ada orang yang berkarakter kurang baik, dalam hal ini adalah dari sisi pekerjaan bahwa mereka tidak cukup baik pada pekerjaannya. Engga, aku ga mau mencari pembenaran atau melakukan pembelaan diri. Aku hanya mencoba untuk menjadi realistis. Menurut aku pribadi, proses rekrutmen itu kan melibatkan 2 pihak yang sama-sama saling membutuhkan (perusahaan butuh karyawan, jobseeker butuh pekerjaan) dan kita sama-sama manusia. Sudah sepantasnya sama-sama saling jaga dan saling peduli.

So, how to deal with this creepy trend?

Dari artikel Forbes yang pernah aku baca, ada 3 poin yang harus dilakukan sebagai seorang jobseeker jika mengalami hal ini.

1. Follow up

Ya, follow up ini harus dilakukan ketika kita sedang mencari pekerjaan. Toh, tidak ada salahnya juga kan menindaklanjuti perekrut tentang kelanjutan proses rekrutmen kita? Yang perlu digaris bawahi adalah follow up ini harus dilakukan dengan sopan, rasa hormat, dan jangan sampai annoying. Menurut aku, dengan melakukan follow up ini juga bisa menunjukkan bahwa kita benar-benar ingin bergabung dan tumbuh bersama calon perusahaan.

2. Objective (evaluate yourself)

Harus diingat bahwa proses rekrutmen adalah proses yang dilakukan oleh 2 pihak. Kita tidak bisa hanya menyalahkan satu sisi, kita sebagai jobseeker harus bisa melakukan evaluasi diri terhadap proses rekrutmen ini. Tanyakan pada diri kita, apakah kita sudah memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan? Apakah kita sudah menjawab pertanyaan dengan baik dan benar? Apakah tugas yang diberikan sudah dikerjakan sesuai arahan yang diberikan? Bagaimana menurut kita tentang HR atau user tersebut? Bagaimana menurut kita tentang posisi dan perusahaan yang kita lamar? Apakah ada yang menarik atau justru ada red flags selama proses tersebut? Dan masih banyak lagi.

3. Move On!

Sebelum ada tanda tangan kontrak, proses rekrutmen akan terus berlanjut. Jadi, move on aja! Jangan bergantung pada satu hal. Kalau aku percaya dengan istilah ‘kalau kita sudah berusaha, sisanya biarkan Tuhan yang bekerja’. Berharap itu boleh, tapi jangan berlarut-larut lalu jadi lupa untuk melakukan hal lain. Jangan menjadikan pengalaman ghosting ini sebagai beban pikiran lalu membuat kita menjadi overthinking dan diselimuti kekecewaan. Just keep evaluate and improve yourself until you got the job!

— — —

Yah, anggap saja proses ini sebagai bumbu dalam pencarian pekerjaan ya. Aku rasa aku ga sendiri, pastinya ada banyak orang juga yang pernah mengalami hal serupa. Kadang aku bersyukur kalau aku tipikal orang yang ga mau ambil pusing untuk beberapa hal, termasuk ini. Bukan karena aku tidak peduli atau semacamnya, tapi lebih kepada I’ve tried my best, whatever the result it depends on God’s choice, it depends on them (employer), and I can’t control it. Pengalaman ini juga sekaligus bisa jadi pengingat untukku, mungkin aku pernah meng-ghosting orang lain. Pengalaman ini juga sekaligus bisa jadi pengingat untukku, mungkin aku pernah meng-ghosting orang lain sebelumnya. Intinya aku cuma mau menyampaikan bahwa antara perusahaan dan jobseeker itu sama-sama butuh dan sama-sama harus bisa saling menghargai, kita ga boleh lihat hanya dari satu sisi. Kunci dari trend ini kan sebenarnya hanya komunikasi, semoga kedepannya kejadian-kejadian seperti ini bisa berkurang atau bahkan hilang.

— — —

Sekian.

Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan yang cukup panjang ini, semoga dari cerita ini ada pelajaran dan manfaat yang bisa diambil, yang ga bermanfaat dilupakan aja hahaha.

--

--

Suci Rachmawati

Medium is a medium for myself-contemplation. I will share stories about agriculture, career life, life lessons, and personal story/ development.