FILOSOFI TERAS: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini (book review) by Henry Manampiring

Suci Rachmawati
5 min readApr 21, 2021

Teman-teman ingat ga, beberapa waktu lalu saya pernah membuat book review yang judulnya IKIGAI by Ken Mogi? Yap, pada artikel tersebut saya mengatakan bahwa buku Filosofi Teras memiliki kemiripan dengan Ikigai. Mungkin, secara konsep besarnya sama yaitu untuk mengantarkan kita pada kondisi mental yang lebih baik untuk berdamai, beradaptasi, dan menerima keadaan.

Sebelum saya me-review buku Filosofi Teras, saya ingin cerita sedikit awal mula saya mau membaca buku ini. Sebenarnya buku ini adalah buku yang direkomendasikan dan dipinjamkan oleh teman saya sejak tahun 2020. Pada waktu itu saya cukup sering mendengar dia cerita tentang stoa dan stoicism. Ketika pertama kali menerima buku ini, saya cukup kaget karena “Ah pasti isinya tentang filsafat, bacaannya pasti berat” batin saya. Setelah beberapa bulan buku ini hanya ditaruh di rak buku, akhirnya sekitar bulan Februari/Maret lalu saya tergerak karena penasaran tentang isinya seperti apa. Hingga akhirnya saya mulai membaca dan kecanduan (saya coba rutin baca setiap pagi minimal 1 bab kalau sempat). Persepsi awal saya tentang buku ini semakin luntur ketika merasa relate pada setiap cerita yang ditulis.

Walaupun buku ini adalah buku tentang ilmu filsafat Yunani-Romawi Kuno, tapi penulis mampu menuliskan ceritanya dengan sangat bagus sehingga ketika saya membacanya jadi lebih mudah untuk bisa relate dan paham apa yang dimaksud.

Filosofi Teras awalnya muncul di sebuah teras yang berpilar dan dihiasi lukisan (semacam di alun-alun Athena) sehingga ajaran ini di sebut sebagai Filosofi Stoa atau Filosofi Teras. Konsep ini sudah ada sejak masa Yunani Kuno sekitar 300 tahun sebelum masehi atau 2300 tahun yang lalu. Mungkin tidak sedikit orang yang melabeli buku ini sebagai topik berat dan sulit dipahami, tapi kenyataannya buku Filosofi Teras adalah sebuah buku yang praktis dan bisa relevan dengan kehidupan generasi masa kini.

Buku Filosofi Teras terdiri dari 12 bab yang menarik. Saya sendiri memiliki bagian yang saya highlight hampir di masing-masing babnya karena merasa ngena dan bisa dipraktikkan. Berikut adalah beberapa poin yang saya highlight dalam buku ini:

1. Yang menjadikan kita stress adalah bukan penyebab stress itu sendiri, melainkan persepsi/respons kita akan situasi tersebut. Sebagai manusia, kita memiliki nalar yang dapat digunakan untuk berpikir dan mengatur rasa cemas/khawatir

2. Tujuan dari Filosofi Teras adalah bukan hidup penuh dengan hal-hal positif. Tetapi, kita ditunjukkan bagaimana caranya menjalani hidup dengan emosi negatif yang bisa dikendalikan, hidup dengan kebajikan, dan bagaimana caranya kita hidup sebagaimana mestinya seorang manusia

3. Untuk bisa mengendalikan emosi negatif, kita perlu hidup selaras dengan alam karena Filosofi Teras percaya bahwa segala sesuatu yang ada di alam akan saling terkait dan kita sebagai manusia yang memiliki nalar harus bisa memanfaatkan itu dengan baik

4. Prinsip Dikotomi Kendali: bahwa dalam hidup ini ada hal-hal yang di bawah kendali kita, dan ada pula hal-hal yang tidak di bawah kendali kita. Ada juga konsep Trikotomi Kendali, dengan memasukkan “sebagian hal” ada di bawah kendali kita. Dari ini semua, yang harus diyakinkan adalah segala hal yang ada di luar kendali kita itu tidak berpengaruh terhadap baik/tidaknya hidup kita. Tugas kita adalah fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan menerima hasil yang ada di luar kendali kita

5. Membedakan antara fakta, opini/value judgement. Sering kali manusia mudah terbawa emosi negatif hanya dengan mengikuti value judgement. Padahal, seharusnya kita bisa melakukan analisis dengan rasional. Langkah-langkah agar kita tidak termakan emosi negatif adalah dengan menerapkan konsep STAR (Stop, Think, Assess, Respond) ketika kita mulai merasakan adanya emosi negatif

6. Premeditatio malorum: sebuah teknik untuk memperkuat mental kita dengan membayangkan lebih dulu tentang hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada hidup kita, hari ini, dan ke depannya. Dengan teknik ini, kita bisa mengantisipasi kemungkinan buruk yang akan terjadi dan tidak terlalu kaget jika hal buruk tersebut benar-benar terjadi alias kita bisa bersikap rasional dan menerima bahwa itu dapat terjadi di luar kendali kita

7. Filosofi Teras percaya bahwa nature manusia adalah sebagai makhluk sosial. Dan dalam perjalannya, pasti akan berhadapan dengan perilaku manusia lain yang mungkin menyebalkan. Jika kita merasa terganggu/tersinggung oleh perilaku orang lain, itu sepenuhnya menjadi kesalahan kita karena kita yang telah membiarkan emosi negatif menguasai diri kita. Kembali lagi, sebagai manusia kita harus bisa hidup selaras dengan alam dan kita yang dapat mengontrol diri kita, bukan orang lain

8. Filosofi Teras menganjurkan kita untuk mewaspadai pola 3P yang merusak (Personal, Pervasive, dan Permanence). Kembali lagi kepada konsep Dikotomi Kendali bahwa kita hanya dapat mengontrol apa yang ada di bawah kendali kita, dan kita bisa merespon menggunakan nalar tentang apa yang ada di luar kendali kita

9. Seluruh manusia adalah “kosmopolit”, warga dunia. Jika dihadapi sendirian, rasanya akan ada banyak masalah yang berada di luar kendali “saya”, tapi jika dihadapi bersama, maka banyak masalah bisa berubah menjadi di bawah kendali “kita”

10. Segala sesuatu yang selaras dengan alam adalah baik, termasuk kematian. Jika kita hidup menggunakan nalar, menjalankan kebajikan maka itu akan membawa kita pada hidup yang baik walaupun dalam waktu yang singkat sekalipun

Apa yang dibahas dalam buku ini sangat menarik. Dalam buku ini berulang kali ditekankan bahwa pikiran dan nalar kita sepenuhnya ada dalam kendali kita dan kita harus mampu menggunakan itu dengan baik agar kita mampu mengendalikan emosi negatif. Yang mengejutkan, buku ini juga ada sedikit membahas tentang ilmu parenting dan kematian yang membuat saya jadi memiliki wawasan baru.

Ajaran dalam buku ini adalah suatu hal yang baru bagi saya. Walaupun penulis menyebutkan bahwa buku ini belum cukup untuk dijadikan referensi utama tapi buku ini mampu mengenalkan dan memberikan konsep dasar dari Filsafat Stoa dengan baik.

Jika boleh jujur, sepanjang saya membaca buku ini saya manggut-manggut dan meng-iya-kan dalam hati kemudian perlahan-lahan mulai menerapkan apa yang diajarkan dalam buku ini. Namun, seperti yang dikatakan oleh penulis bahwa konsep stoisisme adalah suatu ilmu yang harus terus diasah agar semakin terbiasa.

Well, dari semua penjelasan saya diatas, saya sangat merekomendasikan buku ini. Buku ini sangat cocok bagi teman-teman yang sering merasa khawatir terhadap suatu hal yang belum terjadi, mudah terbawa perasaan/ mudah tersinggung, dan sering diselimuti emosi negatif dalam merespon suatu kejadian. Buku ini juga cocok untuk seluruh kalangan, walaupun mungkin rasanya akan lebih relate untuk kalangan generasi masa kini.

Happy reading!

--

--

Suci Rachmawati

Medium is a medium for myself-contemplation. I will share stories about agriculture, career life, life lessons, and personal story/ development.