LITERASI KEUANGAN: SEBERAPA PENTING LITERASI KEUANGAN UNTUK PETANI?

Suci Rachmawati
5 min readFeb 1, 2021

Satu kata yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya ketika mendengar kata Indonesia adalah “kaya”. Ya, Indonesia adalah negara yang kaya. Ia memiliki 16.056 pulau yang tersebar di seluruh wilayahnya (Badan Pusat Statistik, 2020). Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia adalah lahan pertanian yang cukup luas. Berdasarkan data Statistik Lahan Pertanian tahun 2015–2019 yang dipublikasikan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian tahun 2020, luas lahan sawah yang dimiliki oleh Indonesia sebanyak 7.463.948 Ha sedangkan luas lahan bukan sawah sebanyak 29.353.138 Ha.

Dengan besarnya luas lahan yang dimiliki, hingga Februari 2020 Indonesia menyumbang setidaknya 20,70% tenaga kerja di bidang pertanian dalam arti sempit dan 1,80% tenaga kerja di bidang pertanian lainnya. Namun, dengan besarnya jumlah tenaga kerja tersebut, pada tahun 2020 sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional pada triwulan 1 sebesar 9,40%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi teknologi (Statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian, 2020). Untuk mendukung peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional, perlu upaya peningkatan kualitas tenaga kerja agar mampu meningkatkan produktivitas.

Berbicara soal tenaga kerja di sektor pertanian, tentu masih ada kaitannya dengan istilah green jobs. International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa green jobs adalah istilah yang digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat berkontribusi untuk melestarikan atau memulihkan lingkungan baik di sektor tradisional seperti manufaktur dan konstruksi atau pun di sektor hijau yang baru muncul seperti energi terbarukan dan efisiensi energi. Pada dasarnya, green jobs adalah pekerjaan yang dapat menguntungkan secara bisnis dan dapat melestarikan lingkungan.

Banyak pekerjaan tergolong ke dalam kategori green jobs yang memiliki prinsip hijau, namun tidak jarang prakteknya tidak sesuai dengan prinsipnya. Prinsip hijau yang saya maksud di sini adalah sebuah prinsip yang memiliki konsep yang dapat mensejahterakan masyarakat tidak hanya dari sisi lingkungan tetapi juga sisi ekonomi.

Melalui tulisan ini, saya mencoba untuk menarik garis hubungan antara green jobs khususnya pekerjaan di bidang pertanian dengan faktor pendukungnya yaitu literasi keuangan. Mengapa? Karena menurut saya, jika pekerja green jobs (dalam hal ini adalah petani) tidak memiliki skill tersebut, bagaimana bisa mereka bekerja secara optimal dan memberikan dampak yang baik terhadap lingkungan?

Sebagai contoh, saya coba ambil kasus untuk pertanian organik. Pertanian organik adalah salah satu sistem budidaya pertanian yang berorientasi pada kesehatan yang holistik (memperhatikan keseimbangan alam). Dalam menjalankan usaha di bidang pertanian organik tentu bukan satu hal yang mudah. Jika petani ingin menjalankan usaha di bidang tersebut dan memiliki label produk yang telah tersertifikasi organik, maka lahan pertaniannya harus memiliki sertifikat organik yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi.

Proses mendapatkan sertifikat organik juga tidak mudah, petani harus mengajukan permohonan sertifikasi, audit untuk menentukan kelayakan sertifikasi, dan pelaksanaan inspeksi (audit dokumen dan kondisi fisik di lapang). Untuk mendapatkan sertifikat organik juga diperlukan biaya yang tidak sedikit, dan tidak sedikit juga petani yang tidak mampu membayar pembuatan sertifikat atau ingin memperpanjang masa berlaku sertifikatnya.

Mengapa petani tidak mampu membayar?

Menurut pandangan saya, selama ini salah satu hal yang sering menjadi kendala adalah tentang pengelolaan keuangan dalam usaha tani. Petani tidak mengetahui dengan detail kondisi keuangannya. Petani sering merasa bahwa mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menjalankan usahanya sehingga terkadang mereka terpaksa harus mencari pinjaman yang berbunga. Akhirnya, pendapatan hasil usaha tidak seberapa.

Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Karena masih minimnya praktek pencatatan keuangan usaha di tingkat petani. Petani tidak melakukan pencatatan rutin dan membuat target yang harus mereka penuhi serta memikirkan strategi bagaimana mereka harus memenuhi target tersebut.

Lalu, bagaimana? Menurut saya, salah satu yang harus diperbaiki adalah kemampuan literasi keuangan untuk petani.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa green jobs adalah pekerjaan yang dapat menguntungkan secara bisnis dan juga dapat melestarikan lingkungan. Oleh karena itu, hal tersebut tidak terbatas pada kemampuan petani dalam memutar roda bisnisnya agar bisa sustainable secara finansial. Tentu hal ini bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi tolak ukur, tetapi ini penting untuk dilakukan karena dalam menjalankan sebuah usaha pasti akan membutuhkan kondisi keuangan yang transparan. Bagaimana kita bisa mengetahui untung-rugi usaha kalau tidak ada pencatatan? Bagaimana pula kita bisa mengetahui apa yang seharusnya menjadi prioritas kalau tidak ada pencatatan?

Dulu, ketika saya masih bekerja sebagai #Community Development di salah satu social enterprise di Jakarta yang bergerak di bidang pertanian, salah satu kegiatan yang pernah saya lakukan bersama petani dan partner kerja pada saat itu adalah mengadakan pelatihan Financial Literacy untuk petani. Berawal dari kegiatan tersebut, saya jadi mengetahui bahwa ternyata hampir seluruh petani yang dibina pada saat itu tidak melakukan pencatatan keuangan. Alasan mereka tidak melakukan pencatatan keuangan adalah karena bingung bagaimana harus menulisnya, keterbatasan usia, dan keterbatasan kemampuan menulis (masih ada petani-petani yang tidak bisa menulis).

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam publikasinya tentang Gerakan Literasi Nasional (2017), literasi keuangan adalah satu paket pengetahuan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya keuangan secara efektif. Tujuannya adalah agar bisa membuat keputusan yang efektif dan meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat. Cakupan kemampuan literasi yang dimaksud adalah meliputi kemampuan membaca, menulis, dan berbicara; kemampuan berhitung; dan kemampuan mengakses dan menggunakan informasi.

Pada dasarnya petani mengetahui tentang literasi keuangan, bahwa dalam menjalankan usaha atau kehidupan rumah tangga sekalipun pasti akan ada perhitungan-perhitungan. Namun, mereka masih belum sampai pada tahap melakukan pencatatan. Pertanian tidak melulu tentang budidaya atau pun produksi, tetapi juga kemampuan pengelolaan keuangan.

Oleh karena itu, untuk mendukung terciptanya sumberdaya yang berkualitas pada sektor green jobs perlu ada #KolaborAksi dari berbagai pihak termasuk #EnergiMuda dalam hal edukasi (pelatihan), pendampingan secara intensif yang berkelanjutan kepada petani-petani sehingga mereka mengetahui betul bagaimana kondisi usahanya dan paham apa yang harus dilakukan. Tidak hanya itu, literasi keuangan menjadi semakin penting karena saat ini sudah banyak bermunculan #FinTech application di bidang pertanian. Jika petani belum mampu melakukan perhitungan dan analisa dasar, rasanya akan semakin besar tantangan kita untuk mendorong petani agar bisa beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi.

Sekian.

--

--

Suci Rachmawati

Medium is a medium for myself-contemplation. I will share stories about agriculture, career life, life lessons, and personal story/ development.